Kamis, 30 Oktober 2014

#Pinternet Internet Addiction

Sejak dikembangkannya perangkat lunak Netscape pada awal dekade 1990an, internet menjadi bagian dari gaya hidup baru di seluruh dunia. Perangkat lunak tersebut memungkinkan para pengguna internet yang semula berbasis teks (textbased internet) untuk beralih menikmati kecanggihan pertukaran informasi berbasis gambar (graphicbased internet). Perkembangan perangkat keras dan perangkat lunak komputer berbasis gambar yang sangat pesat menjadikan pengguna jasa internet menjadi semakin dimanjakan dengan tampilan, isi informasi, fasilitas, serta unjuk kerja internet. Pengguna internet dapat memanfaatkan perangkat lunak webbrowsing untuk mengakses beraneka ragam informasi. Keragaman informasi inilah yang tampaknya menjadikan mereka tahan berlamalama di depan komputer. Mereka dapat melakukan
browsing beragam informasi dari yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, hobi, bisnis, dan bahkan situs yang dikategorikan sebagai kegiatan yang dianggap negatif seperti misalnya, cybercrime (hacking, cracking, dan carding), internet gambling, dan cybersex atau cyberporn. Sebagian dari para pengguna juga menggunakan internet untuk melakukan suratmenyurat (email), diskusi kesejawatan melalui fasilitas
          mail list (news group), chatting atau ngobrol dengan cyberfriends, dan melakukan teleconferencing melalui vasilitas VOIP (voice over internet protocol). Keragaman dan kemudahan yang ditawarkan internet menjadikan curahan waktu untuk menggunakannya menjadi semakin meningkat. Peningkatan curahan waktu dan penggunaan internet yang sangat intensif ini menimbulkan berbagai permasalahan yang di kalangan para ahli psikologi dikenal antara lain sebagai kecanduan internet (internet addiction).

          Dengan demikian kata addiction lebih sesuai untuk diterjemahkan sebagai kecanduan. Kecanduan sebagai kata bentukan di dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketergantungan kepada candu (opium). Penggunaan istilah kecanduan di dalam bahasa Indonesia tersebut memiliki kesamaan dengan konsep addiction yang digunakan di dalam bidang psikiatri yang lebih dikenal sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSMIV (American Psychiatric Association, 1995) dan sama pula dengan difinisi Chaplin (1975). Pada prinsipnya, addiction berkaitan dengan ketergantungan seseorang terhadap substance atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse).
Sebagai sebuah istilah, kata ‘ketergantungan’ lebih sering digunakan
di dalam percakapan seharihari dibandingkan dengan kata ‘kecanduan’.
Ketergantungan, atau di dalam bahasa Inggris bersinonim dengan kata
‘dependence’, dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami dependensi terhadap zatzat adiktif. Davis (2001a) pun memaknai kecanduan (addiction) sebagai bentuk ketergantungan secara psikologis antara seseorang dengan suatu stimulus, yang biasanya tidak selalu berupa suatu benda atau zat. Di dalam DSMIV tidak digunakan kata atau istilah addiction untuk menggambarkan penggunaan secara patologis atau berlebihan pada suatu stimulus. DSMIV menggunakan istilah dependence untuk kecanduan pada suatu stimulus secara pathological, misalnya ketergantungan untuk berjudi.

Internet Sebagai Sumber Informasi:
              Internet ( yang dikenal dengan nama information superhighway) merupakan singkatan  dari  inter-networking.  Sesuai  dengan  kepanjangannya,  internet  terdiri  dari  sekumpulan  jaringan komputer  milik perusahaan, institusi,  lembaga pemerintah, ataupun penyedia jasa  jaringan  (ISP/internet  service  provider)  yang  saling  terhubung  dimana  masing  masing  jaringan  komputer  yang  dikelola  secara  independen.  Pengembangan  internet  sendiri  sebenarnya  sudah  mulai  dirintis  sejak  tahun  1960-an  sebagai  proyek  dari  departemen  pertahanan  amerika  serikat.  Internet  menjadi  salah  satu  media  yang  dijadikan  sumber
informasi paling populer antar mahasiswa perguruan tinggi di dunia. Suatu sumber informasi  menurut  Murtonen  adalah  pembawa  informasi  yang  terpercaya  dan  dapat  memberikan  kepuasan dalam memenuhi kebutuhan informasi (Bystrom, 1999). Penggunaan internet telah
          menjadi sebuah gaya hidup (life style) bagi sebagaian besar mahasiswa perguruan tinggi  di seluruh dunia. Bagi mereka internet adalah sebuah alat fungsional yang telah mengubah  cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, maupun dalam menemukan informasi. Banyak  diantara mahasiswa yang menggunakan internet untuk menyelesaikan berbagai kepentingan akademis,  baik itu dilakukan melalui  pertukaran e-  mail  dengan fakultas,  teman sebaya,  atapun kepentingan lainnya. Disamping itu sebagaian mahasiswa juga mengakses katalog on-
          line,  database bibliografi  ,  dan sumber  informasi  lainnya  dalam bentuk grafik,  teks,  dan  gambar melaluiworld wide web (WWW) ( asan & koca, 2006 dalam bashir et al, 2008) Usun (2003) dalam Bashir  et  al.(2008)  mengungkapkan bahwa internet  menarik bagi mahasiswa di perguruan tinggi untuk sejumlah alasan yaitu :  (1) mengurangi jeda waktu antara produksi  dan pemanfaatan pengetahuan; (2) mempromosika kerja sama internasinal dan  pendapat;  (3)  berbagai  informasi;  dan  (4)  mempromosikan  penelitian  multidisiplin. Dalam survei penggunaan internet pada mahasiswa pertanian dari perguruan tinggi Amerika,
          Rhoades et al. (2007) menemukan bahwa sebagaian besar mahasiswa menggunakan search engine pada saat online.  Mayoritas dari mereka cenderung melihat internet sebagai pilihan yang  baik  dalam  menemukan  informasi,  mudah  dimengerti,  menguntungkan,  dapat dipercaya,  kredibel,  dan akurat.  Sementara Asan dan Koca (2006) mengungkapkan bahwa mayoritas  mahasiswa  memiliki  sikap  postif  terhadap  internet.  Sehingga  hal  inilah  yang mendorong mereka untuk menggunaka internet sebagai sumber informasi yang diperlukan. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Sharma et al.  (2006), yang mengungkapkan bahwa mahasiswa menggunakan internet untuk mendapatkan informasi atau untuk keperluan penelitian. Kebanyakan dari mereka lebih menyukai internet karena dianggap sebagai sumber pengetahuan terbaru (Bashir et  al.,  2008). Dalam hal  ini banyak diantara mahasiswa yang menggambarkan  internet  sebagai  alat  fungsional  yang  membantu  mereka  untuk berkomunikasi dengan profesor, melakukan penelitian, dan mengakses bahan perpustakaan. Disamping itu,  Qureshi  (2002) menambahkan bahwa semakin paham seseorang terhadap sumber sumber informasi yang ada, maka akan menyebabkan orang tersebut  paham terhadap cara cara menemukan informasi yang dibutuhkan sehingga akan meningkatkan kemampuan dalam memanfaatkan media informasi yang ada. Peningkaan  kebutuhan  informasi  pada  masyarakat  informasi,  khususnya  kalangan akademik dirasakan semakin meningkat akibat adanya saling keterkaitan dan ketergantungan individu terhadap informasi.  Diantara  banyak kebutuhan manusia,  kebutuhan yang paling mencolok  peningkatannya  adalah  kebutuhan  akan  informasi.  Oleh  karena  itu  pemilihan sumber informasi menentukan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhannya. Disamping itu, pemilihan sumber informasi seseorang juga didasarkan pada pola kebiasaan. Meyers, Nathan, dan Saxton (2006) menyatakan bahwa pola kebiasaan diartikan bila di masa lalu sebuah
sumber  informasi  dapat  memenuhi  kebutuhan  seseorang  maka  ia  akan  cenderung menggunakan sumber informasi tersebut untuk waktu selanjutnya. Leckie dkk. (1996) dalam Ishak  (2006)  menambahkan  bahwa  pengetahuan  seseorang  tentang  sumber  informasi (awareness  of  information  sources)  yang  akan  digunakan,  seperti  kecepatan  akses
(accessibility), kualitas  (quality), ketepatan  waktu (timeliness), kepercayaan (trustworthiness), kebiasaan (familiarty) dan  keberhasilan  sebelumnya  (previous  success) akan  berdampak  lansung  pada  pelaksanaan  pencarian  informasi  (information  is  sought). Sehingga hal  inilah yang mendorong seseorang untuk memilih media yang tepat  sebagai sumber informasi bagi pemenuhan kebutuhannya.

Kebutuhan Informan untuk Self-Improvement

Penemuan lain yang tidak ada dalam asumsi teoretis penelitian ini adalah kebutuhan informan untuk melakukan
self-improvement. Hal ini diungkapkan oleh informan (MN) seperti dalam transkrip wawancara berikut ini:

“P: Pas mba nulis, mba nulis ada keinginan untuk dibaca orang, atau gimana, why do you write things? Tentu
selain karena suka selain karena ini, ada harapan apa ketika mba nulis?

M: Buat gue nulis tuh melatih gue sendiri. Kalo gue kesel, itu mengalihkan kekesalan gue”.

“P: Selalu relief-kah?

M: Lumayan. Soalnya gue udah ngga mikirin lagi kenapa gue kesel, dan ketika gue baca tulisan gue lagi dan
selalu baca tulisan gue sendiri, gue bisa menganalisa gue tuh kayak gini-gini. Itu juga ngingetin diri gue untuk
ngga gini, gini, gini. Dan itu juga bisa mengingatkan lo untuk tidak melakukan itu lagi (kesalahan yang sama)”.  

          Informan menyatakan bahwa ketika ia menulis di blog-nya, ada perasaan lega yang ia dapatkan. Menulis adalahsarana informan untuk mengalihkan kekesalannya. Menulis membuat informan dapat melatih dirinya sendiriuntuk kembali membaca dan menganalisis masalahnya. Informan juga merasa bahwa ketika ia menulis di blog,ia bisa menganalisis dirinya, emosinya, masalahnya. Ketika informan membaca kembali tulisannya, tulisantersebut mengingatkan informan untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya.

Informan MIH juga menunjukkan hal yang serupa dalam transkrip berikut ini:
P : Ada perubahan pada dirimu yang kamu rasakan sejak mulai intens berinternet?
I : Perubahan apa ya?.. ya yang pasti kayanya internet udah ngerubah banyak orang ya.. khususnya cara
pandang kita terhadap dunia.. ya yang pasti gw pikiran jadi lebih terbuka.. lebih banyak wawasan yang gw
peroleh.. gw ga jadi gaptek.. penasaran gw terhadap sesuatu hal jadi lebih tinggi.. karena gw jadi sadar betapa
banyak hal yang gw belum tau.. tapi yang pasti internet bantuin gw memperdalam ilmu music gw

            Informan MIH mengakui bahwa internet telah mengubah pandangannya tentang dunia. Internet, diakuiinforman, membuat pikirannya lebih terbuka, menambah wawasan yang ia miliki, melatih skill-nya berteknologi,menambah rasa ingin tahu lebih banyak dan dalam tentang suatu hal dalam diri informan. Selain itu, berinternet,juga diakui informan, membantunya dalam mempelajari dan memperdalam ilmu musiknya.
Informan yang lain, D, mengungkapkan self-improvementyang terjadi pada dirinya karena kecanduannya padainternet. Berbeda dengan dua informan sebelumnya, D mengungkapkan bahwa self-improvement yang terjadi
pada dirinya adalah dalam bentuk fisik. Kecanduannya pada internet membuat D kemudian terdorong untukmembuka warung internet (warnet). Usaha ini, diakui informan, telah mendatangkan pemasukan yang lumayan
bagi dirinya.

          Untuk poin self-improvement ‘fisik’ ini, peneliti tidak menganggap bahwa hubungan yang terjadi adalah sebabakibat, yaitu internet addiction menyebabkan informan membuka warnet atau membuka warnet menyebabkaninforman menjadi internet addicts. Peneliti menganggap ada asosiasi antara kecanduan internet yang dialamiinforman dengan aktivitas membuka warnet yang menguntungkan informan secara fisik.
          Penemuan peneliti ini juga sejalan dengan pendapat para pendukung konsep celebrity as populist democracy. Konsep ini menyatakan bahwa teknologi media massa, khususnya internet, menyediakan ruang bagi khalayakuntuk menjadi selebritis, untuk mendapatkan ‘their 15 minutes of fame’ (Evans & Hesmondhalgh, 2005). Inidapat dilakukan oleh khalayak dengan meng-upload video di situs-situs seperti Youtube, membuat personalpages, blogs, dsb. Dan argumen ini didukung dengan pernyataan:

“Today’s celebrity culture is based on rewarding self-improvement and efforts toward self-development, rather
than being a consequence of hierarchical privilege and elite networks” (Budaya selebriti kini berdasar pada
pemberian penghargaan pada self-improvement dan usaha-usaha ke arah self-development, daripada menjadi
sebuah konsekuensi dari hak hirarkis dan jaringan para elit) (Evans & Hemondhalgh: 2005, hal. 15).

         Penelitian -penelitian sebelumnya mengasosiasikaninternet addiction dengan depresi, kesepian, dsb. Dalampenelitian ini ditemukan bahwa internet addiction disorder tidak hanya berhubungan dengan motivasi-motivasidiri untuk mencari hiburan, melepaskan emosi, mencari teman yang memiliki persamaan dengan penggunainternet, dan mencari informasi, tetapi juga mampu menjadi sarana self-improvement penggunanya dan saranapula untuk melakukan construction of identity.

Jenis-jenis (kategori) Internet Addiction:
1. Cyberseksual Addiction, seseorang melakukan penelusuran ke dalam situs-situs porno
2. Cyber-Relationship Addiction, seseorang yang hanyut dalam pertemanan didunia maya
3. Net Compulsion, seseorang yang kecanduan pada situs-situs perdagangan atau perjudian
4. Information Overload, menelusuri situs informasi secara kompulsif
5. Computer Addiction, seseorang yang terobsesi dengan game online

Internet Addiction juga mempunyai gejala-gejala:
1. Internet Preoccupation, orang yang keasikan berinternet dan memikirkannya ketika offline
2. Selalu memperbanyak waktu online
3. Tidak bisa mengontol penggunaan internet
4. Gelisah jika tidak online
5. Internet digunakan sebagai pelampiasan dari masalah
6. Membohongi keluarga atau teman mengenai jumlah waktu yang digunakan untuk online
7. Kehilangan teman, pekerjaan, atau kesempatan pendidikan dan karir karena pengguna internet


 SIMPULAN

        Setelah menganalisis dan menginterpretasi hasil dari penelitian ini, simpulan yang dapat diambil adalah bahwaada asosiasi antara bentuk parental communication terhadap penggunaan Internet dengan penggunaan Internetseseorang, dan Internet Addiction Disorder (IAD) berasosiasi denganmental engagement antara pecanduInternet dengan Internet,gratification sought, kebutuhan untuk membangun identitas, dan kebutuhan untukmencapai self-improvement.






Sumber :


P. Soetjipto,  Helly. 2013. Pengujian Validitas Konstruk Kriteria Kecanduan Internet. Fakultas Psikologi UGM. Volume 32, No. 2, 74-94

Santoso,  Agus.,  2008/2009.  Pola  Perilaku  Penemuan  Informasi (Information  Seeking Behaviour)  Mahasiswa  Universitas Airlangga.  Surabaya  :  Departemen  Informasi  dan Perpustakaan – Fakultas  Ilmu Sosial  dan Politik Universitas  Airlangga.  (KK-2 Fis IIP 01/09 San p).

Ardhyana R, Pratiwirdhyana. 2012.  Internet Addiction Disorder (Studi Deskriptif Mahasiswa Ilmu Sosial Internet
Addicts. UNNAIR

Ningtyas, Sari. 2010. Hubungan Self Control dan Internet Addiction pada Mahasiswa. Universitas Negeri Jakarta. Vol. 2 No. 2 Hal 3-5

Putra, Kevin. 2009. Big Five Personality dengan Kecanduan Internet. Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia : Jurnal Psikologi Vol. 24 No. 3 Hal 30-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar